Pages

Impian ada di tengah peluh Bagai bunga yang mekar secara perlahan Usaha keras itu tak akan mengkhianati (Hari Pertama - JKT48) ***** ...

Impian ada di tengah peluh

Bagai bunga yang mekar secara perlahan

Usaha keras itu tak akan mengkhianati


(Hari Pertama - JKT48)


*****



Hari ini aku mengikuti tes online BUMN. Hasilnya mengecewakan. 


Usaha keras itu tak akan mengkhianati 


Hasil yang baik hanya didapatkan untuk orang-orang yang berusaha keras. 


Rasanya aku harus menerima hasil tes yang buruk. Sebab usahaku sangat minim. Hari pertama mendapat email mengenai jadwa tes, aku sangat senang dan semangat. Tapi di hari-hari selanjutnyadengan segala alasan yang tidak perlu dimaklumipersiapanku sangat sangat kurang. Bahkan, apa yang aku lakukan juga belum bisa dikatakan sebagai persiapan.


Kalau mengingat-ingat ke belakang, rasanya permasalahnku tentang kurangnya persiapan dan kekonsistenan dalam mencapai sesuatu sudah sangat berlarut-larut. Sangat menyebalkan menyadari kalau ternyata aku tidak banyak beranjak dari permasalahan malas, menyia-nyiakan waktu dan tidak konsisten.


Kesimpulanku tentang aku yang tidak banyak beranjak dari permasalahan yang sama aku dapatkan ketika kemarin aku membaca ulang tulisan-tulisanku yang ada di laptop, HP, dan blog-blogku yang lain. Selain itu juga melihat beberapa project-project yang aku buat. Salah satunya adalah Hikikomoread. Project yang menurutku mempunyai awalan yang bagus tapi berakhir seperti project dan rencana-rencana lainnya.


Tulisan ini aku buat bukan untuk menyesali hal-hal yang sudah terjadi atau meratapi nasib sampai berlarut-larut. Tapi sebagai pengingat bahwa hari ini aku tidak banyak berubah. Masih banyak hal yang harus diubah. 


Tidak ada jaminan setelah aku menumpahkan dan merenungi apa yang aku rasakan di tulisan ini kedepannya akan berjalan baik. Tapi tidak ada salahnya menaruh harapan. Fighting!


*****


Catatan: Judul Sepenggal Sadar aku ambil dari salah satu judul lagu milik Dongker dengan judul yang sama yang akhir-akhir ini sedang sering aku dengarkan.

Cerita ini berasal dari fragmen-fragmen mimpi atau lamunan atau bualan teman saya .  Saya tulis ulang dengan sedikit melebih-lebihkan apa ya...

Cerita ini berasal dari fragmen-fragmen mimpi atau lamunan atau bualan teman sayaSaya tulis ulang dengan sedikit melebih-lebihkan apa yang ia cerita dan rasakan. Namun tidak mengubah inti ceritanya.


***


Kau menemukan sumur tua. Masuk ke dalamnya dan pergi ke dunia lain.


Aku tidak memastikandan tidak pernah melakukannyaapakah itu mimpi, lamunan, atau bualan. Tidak perlu ambil pusing, pikirku. Peranku hanya mendengarkan.


"Seperti di Inuyasha?" tanyaku.


"Ya. Sumur tua seperti di Inuyasha. Bisa membawamu ke dunia lain. Aku memasukinya."


"Lalu, apa yang kau lihat?"


Itu adalah pertemuan pertamamu dengannya. Ia sama seperti kita, katamu. Saat pertama kali kau melihatnya, ia sedang duduk di batang pohon yang sudah tumbang, penuh dengan jamur berwarna gelap. Pun sekelilingnya, gelap. Hanya ada beberapa sinar matahari yang menembus cela-cela pepohonan. Di belakang tempat ia duduk ada gubuk kecil. Bentuknya jelek, katamu. Hanya tumpukan kayu yang disusun asal-asalan. Aku membayangkan rumah berang-berang.


Tidak ada apapun selain gubuk, ia, kau dan pepohonan yang mengepung kalian. Ia melihat kau dengan wajah datar. Bola matanya lebih didominasi warna gelap ketimbang putih. Tapi ia seperti kita, katamu. Kau sedikit ragumenurutku kau takutuntuk mendekatinya.


"Kau bisa kembali kapanpun kau mau. Seperti sebelumnya."


Kau tidak mengerti apa yang ia maksud. Kau diam. Menatapnya dengan kebingungan.


"Mungkin kau sudah lupa."


Kau diam. Itu artinya ceritamu sudah berakhir. Karena sedikit penasaran, aku menanyakan bagaimana caramu kembali dari tempat itu? Kau hanya menjawab, sama seperti Kagome.


Aku diam. 


Di akhir ceritamu, aku selalu ingin memaki sambil meneriakkan... tolong bikin cerita yang lebih menarik! Tapi aku tidak pernah mengatakannya. Peranku hanya mendengarkan.

Kemarin simak meninggal.  Simak adalah nenekku. Aku memanggil simak karena ibuku memanggilnya simak. Ibukku memanggilnya simak karena simak ...




Kemarin simak meninggal. 

Simak adalah nenekku. Aku memanggil simak karena ibuku memanggilnya simak. Ibukku memanggilnya simak karena simak dalam bahasa jawa artinya ibu.

Selasa, 19 Maret 2024

Ibuku mengirim pesan di Whatsapp.

Co simak iki bubuk terus awit dino kamis, nganti saiki. Ya sitik sitik gelem mimik nek maem blas.

Artinya, "Co, ini simak tidur terus dari hari kamis, sampai sekarang. Kalau minum masih mau tapi makan udah nggak mau sama sekali".

Setelah membaca pesan itu aku langsung berpikir untuk pulang. Aku merencanakan pulang di hari sabtu.

Kamis, 21 Maret 2024

Aku mengirim pesan di Whatsapp ke ibukku.

"Simak kondisinya gimana, Buk?"

Aku mengirim pesan seperti itu dengan harapan mendapat kabar kalau simak sudah sehat, sudah mau makan, dan sudah bisa jalan-jalan.

Simak adalah salah satu orang yang kuat. Beberapa minggu kemarin beliau masih kuat berjalan dan masih mengingat banyak hal dan banyak orang.

Aku ingat tahun lalu ibukku juga mengabari kalau simak sudah tidur-tiduran saja. Aku sudah berpikiran apakah sudah waktunya? Aku langsung pulang ke Pekalongan untuk menjenguk beliau. Ketika aku datang beliau masih ingat namaku dan masih cerita beberapa hal setelah akhirnya tertidur lagi.

Beberapa hari setelah aku menjenguknya, ibukku memberi kabar kalau simak sudah sehat. Sudah bisa jalan-jalan lagi.

Namun kali ini berbeda. Aku tidak mendapat jawaban seperti dulu. Ibukku membalas pesanku di Whatsapp.

Ya iku 9 hari ga makan sedikit pun cuma minum dikit. Banyak tidurnya.

Aku harus pulang.

Simak memang sudah sangat tua. Umur beliau 90an tahun. Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti berapa umur beliau. Bahkan ketika hendak disiarkan di masjid-masjid dan mushola-mushola.

Sabtu, 23 Maret 2024

Aku siap-siap untuk pulang. Hanya membawa sling bag berisi satu buku berjudul Malam Seribu Jahanam, charger HP, HP, headset, dan dompet. Tidak ada baju ganti.

Ban motorku bocor. Aku juga sebenarnya malas naik motor. Kuputuskan untuk naik kereta.

Aku sampai di dekat stasiun. Aku membuka HP untuk melihat harga tiket kereta yang masih tersedia.

Harga tiket kereta naik. Mahal. Uang tabunganku menipis. Aku menghitung-hitung ongkos tiket pulang pergi dan naik ojek. Aku mengurungkan niat untuk pulang. Besok saja pikirku. Berangkat minggu pagi menggunakan motor.

Salah satu keputusan yang sangat aku sesali.

Aku tidak bisa tidur cepat. Perasaanku tidak tenang. Aku ingin pulang.

Minggu, 24 Maret 2024 
Pukul 09.21 WIB

Aku tebangun. Mimpiku bikin kepala pusing. Cahaya matahari menembus jendela. Membuat kamar terasa panas seperti di dalam oven. Aku melihat jam. Perutku lapar. Aku baru menyadari kalau aku telat sahur.

Semuanya masih terasa seperti mimpi. Aku tidur lagi. Terbangun lagi karena gerah dan pusing. Aku mencari-cari HP. Melihat pesan di Whatsapp. 

Simak dah koma

Aku masih mengira itu mimpi. Ingatanku tercampur. Bukanya tadi ibukku mengabari kalau simak sudah bisa jalan-jalan lagi? Kepalaku tambah pusing. Aku tidur lagi.

Minggu, 24 Maret 2024 
Pukul 14.10 WIB

Aku terbangun. Masih pusing. Mimpiku masih bikin kepala pusing. Mimpi seperti yang aku alami ketika demam. Penuh kekacauan.

Aku ambil HP. Mengecek pesan di Whatsapp. Pesan itu masih ada.

Simak dah koma

Aku bangun. Aku sudah sepenuhnya sadar. Aku segera pergi ke kamar mandi. Bersiap-siap. Sama seperti kemarin. Hanya membawa sling bag. Isinya sama seperti kemarin.

Aku membalas pesan ibukku.

Ya ini aku tak siap-siap pulang.

Minggu, 24 Maret 2024 
Pukul 14.34 WIB

Ban motor sudah ditambal. Aku segera melaju menuju Pekalongan. Menuju rumah simak.

Aku pulang dengan kepala penuh dengan ingatan-ingatan tentang kematian. Kematian mbah Ayi, kematian yang seingatku, pertama kali aku lihat dan kematian mbah Kakung, suami simak dan kematian Elma dan kematian wo Rupi dan kematian pak Ayo dan kematian Onyet dan kematian-kematian lain. Apakah ini sudah waktunya?

Pikiranku tidak bisa dialihkan dari kematian.

Apakah ini akan seperti sebelum-sebelumnya? Ketika simak sakit dan tidur lama dan kemudian bangun lagi dan kemudian sehat dan kemudian sudah bisa jalan-jalan.

Minggu, 24 Maret 2024 
Pukul 18.02 WIB

Aku sampai di rumah simak. Sudah ada bapak, ibuk, budhe, pakdhe, dan keponakanku. Simak sedang tidur di ranjang. 

Ada perasaan lega. Lega karena aku merasa datang tepat waktu. Datang ketika simak belum meninggal. Entah kenapa aku merasa bahwa hari ini simak akan meninggal.

Ibuku dan budheku ada di sampingnya. Ibuku menangis sambil memeluk simak. Merapalkan doa-doa untuk simak.

Aku melepas sling bag dan hoodie. Meletakannya di meja. Fokus ibuku dan budheku teralihkan melihat rambutku yang diwarnai. Sambil sesenggukan ibukku mengomentari rambutku. Mengatakan kalau jelek dan sebaiknya jangan diwarnai. Komentar pedas juga muncul dari budheku. Aku hanya cengengesan.

Kemudian fokus kembali ke simak. Aku duduk di samping simak. Membaca Al Fatihah. Agar ketika sudah waktunya simak diberi kelancaran.

Ibu dan budheku saling bercerita mengenai simak yang sudah tidak mau makan dari kemarin-kemarin dan hanya minum saja. Bercerita tentang mereka berdua yang bergantian jaga. Sepertinya ibuku dan budheku sudah siap. Sudah ikhlas. Seperti saat ini. Aku berpikir mereka berdua sedang menunggu kapan waktunya tiba.

Sekitar lima menit berlalu. Aku tidak banyak bicara. Aku lupa apa yang memantikku untuk bertanya. Tiba-tiba rasa penasaran muncul dan aku menanyakannya ke ibukku.

"Memangnya simak udah meninggal, Bu?"

"Sudah"

"Kapan?"

"Jam 5 tadi"

"Aku kira belum. Aku kira simak tidur"

Aku diam. Aku melihat ke arah simak. Aku tidak terlalu memperhatikan bahwa ternyata kepala simak sudah diikat dengan kain agar mulutnya rapat. Aku merapatkan kursiku. Menyentuh kakinya. Kembali merapalkan doa-doa. Meminta agar simak ditempatkan di tempat terbaik.

Minggu, 24 Maret 2024 
Pukul 18.11 WIB

Aku mengirim pesan ke masku. Mbakku yang pertama, kedua, dan ketiga sudah tahu.

Simak meninggal, Mas. Hari ini jam 5 sore.

Innalilahi. Ponco pulang ga?

Pulang. Aku baru sampe rumah simak.

Aku berbalas pesan dengan masku. Ada satu pesan yang membuatku sangat sedih.

Ibuk sedih nggak, Co?

Pertanyaan retoris. Pertanyaan yang sebenarnya masku juga sudah tahu jawabannya. Pertanyaan yang mungkin sebenarnya merujuk ke ingin tahu kondisi ibu.

Dibanding aku, ibukku pasti lebih sedih. Apalagi ketika beberapa menit yang lalu ibu bilang, simak jadi meninggal ya. Mimik mukanya sangat sedih.

Ibuku selalu menemani simak. Dari bertahun-tahun yang lalu. Ibuku dirawat dan merawat simak. Simak menyaksikan kelahiran ibuku dan ibuku menyaksikan kematian simak.

Pernyataan ibukku—simak jadi meninggal ya—mungkin muncul karena ketika simak sakit selalu bilang sepertinya sudah mau meninggal ke ibukku. Aku ingat, mungkin tahun 2018. Simak dan aku duduk di rumah belakang. Simak bercerita kalau beliau ingin meninggal. Beliau merasa sudah sangat tua dan teman-temannya juga sudah banyak yang meninggal.

Minggu, 24 Maret 2024 
Pukul 21.00 WIB

Simak sudah kami pindahkan ke ruang tamu. Saudara-saudara dan tetangga-tetangga sudah ramai berdatangan. Aku berkumpul dengan saudara-sadaraku.

Beberapa bergantian bercerita mengenai simak. Ibukku kembali mengulangi cerita-cerita mengenai simak beberapa minggu yang lalu. Simak yang masih bisa bicara, simak yang jatuh dan kepalanya dijahit, simak yang sudah menolak untuk makan, simak yang sudah memanggil-manggil nama-nama keluarga yang sudah meninggal, dan simak yang tiba-tiba tertidur. Pulas. Sampai sekarang. Selamanya.

Salah satu sepupuku mengatakan kalau simak pernah bercerita. Kalau nanti beliau akan meninggal, beliau tidak akan makan, agar jenazahnya ringan dan tidak merepotkan banyak orang.

Senin, 25 Maret 2024 
Pukul 10.00 WIB

Jenazah simak dimandikan, didoakan, dan siap dibawa ke masjid untuk disholatkan sebelum dikuburkan.

Aku ikut mengantar jenazah simak. Ikut menggotong kerandanya. Ikut menyolatkan dan menguburkannya.

Sampai di kuburan kami menuju liang lahat yang sudah digali. Simak dikuburkan di samping kuburan mbah Kakung. Setelah bertahun-tahun akhirnya tidur bersampingan lagi.

Ketika tanah mulai dilemparkan ke liang lahat simak, air mataku hampir tumpah. Aku tidak tahu apa alasanku menahan air mataku. Liang lahat sudah tertutup penuh. Meninggalkan sebuah gundukan tanah. Menyadarkanku bahwa hari ini adalah terakhir kalinya aku melihat simak secara fisik.

Kami meninggalkan simak. Aku teringat perkataan guru ngajiku bahwa malaikat akan datang ketika orang-orang yang mengantar jenazah sudah meninggalkan kuburan. Semoga beliau diperlakukan dengan baik. Amin.

-----------------------------

Bagiku, kematian simak adalah kematian yang menyedihkan sekaligus melegakan. Simak sudah sangat tua. Simak meninggal karena umurnya sudah tua. Alhamdulillah simak meninggal dengan cara—menurutku—yang mudah.

Terima kasih banyak atas segalanya, Mak. Terima kasih sudah melahirkan ibuku. Kata ibuku, simak berbeda dari ibu-ibu lain. Dulu, saat pendidikan belum terlalu diperhatikan, simak rela mengorbankan apapun demi pendidikan anaknya. Hal tersebut pun menurun ke ibuku.

Selamat jalan, Mak. Semoga mendapat tempat terbaik. Amin.

*****

Catatan: Marawat yang Hidup, Mengantar yang Mati aku ambil dari salah satu dialog di novel Malam Seribu Jahanam dengan teks asli rawat yang hidup, antar yang mati. Judul tersebut ditujukan ke apa yang dilakukan ibuku, merawat yang hidup, mengantar yang mati.